Followers

Tuesday, August 5, 2008

Puisi Yang Tertangguh

( Mengenang Allahyarham Muhammad Ibrahim )

Dia melabuhkan duduk
di bangku usang miliknya
sejak bermusim lalu
sambil mengelus dada
pandangannya berkaca.

Dengan perlahan
dia menghulurkan
sebatang pena bertinta jingga
dan beberapa lembar kertas
sambil berbisik
" Coretlah puisi cinta Khadijah kepada Muhammad
yang tidak bertepi menaungi mimpi suami"

Lebuh hatiku tiba-tiba sesak
ada pilu bergayut dijantungku
puisi itu masih belum sempat ku habiskan

Al-Fatihah…

Indah Hairani
Kuala Terengganu

EPILOG JANJI KEKASIH

Telah ku baca
warkah cintaNya yang Agung
penuh tartil dan tajwid
syahdunya menyentuh kalbu

Tertulis janjiNya
pada malam yang damai
bulan berwajah penuh
akan datang anugerah terindah
menemui setiap kekasih yang beriktikaf
dan menunggunya dengan rindu yang sarat
pohon –pohon tunduk mudajat
laut menjadi tenang
langit Kirmizi bertukar wajah
pintu-pintunya terbuka luas
akan turun Ar_Ruh menebarkan kepaknya
lalu menggugurkan luk-luk dan merjan
tertebar ke segenap maya
dan syuruk sesudahnya mentari putih tanpa sinar

Pada saat bulan paling sabit
aku mengusap lagi butir-butir airmata yang gugur
luk-luk dan merjan tidak jua terpungut olehku.


Indah Hairani

Sunday, August 3, 2008

KITA DAN KEMERDEKAAN


Ogos datang lagi lagi..dan ia tetapi datang dan datang pada setiap tahun yang muncul. Ogos mengingatkan kita pada tarikh keramat negara 31 Ogos dan saya sebagai warganegara Malaysia, merasakan ia amat besar maknanya. Namun, percaya atau tidak, jika saya katakan, masih ramai warganegara kita yang tidak mengambil berat tarikh keramat tersebut apatah lagi untuk memaknai erti sebuah kemerdekaan yang dimiliki hari ini. Lebih mengecewakan perasaan saya, bila orang yang mengaku warganegara Malaysia masih tidak tahu berbahasa Malaysia. Isu bahasa pada saya, isu yang sangat penting dan jika bercakap tentang isu tersebut saya suka melihat kepada negara jiran kita Indonesia. Sebuah negara yang memiliki berbilang bangsa namun apabila berkomunikasi dengan mereka, kita tidak dapat bezakan antara Melayu Indonesia atau Cina Indonesia. Dan bila menyebut negara jiran kita, ingatan saya juga turut menggamit pada kenangan berada di Indonesia sewaktu persediaan sambutan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Ogos.

Pengalaman menyusuri perkampungan daerah pedalaman di Sumatera Barat sangat menyentuh perasaan saya. Kumpulan anak-anak dari berbagai peringkat usia melakukan latihan kawat dengan penuh semangat. Peluh yang menuruni pipi dengan wajah yang merah dijilat mentari namun mereka masih sempat memberi senyum kepada kami yang melambai ke arah mereka. Apa yang penting dan bermain di benak saya saat itu, adalah mereka masih juga sempat memikirkan kemerdekaan sekalipun di sekeliling mereka dilatari dengan bumi yang retak dan rumah-rumah yang hampir menyembah bumi di sana sini. Ujian dan dugaan Tuhan terhadap mereka diterima dengan redha.

Segala-galanya saya rakamkan untuk tatapan sendiri dan dikongsikan dengan pembaca-pembaca budiman.

Sepanjang perjalanan merentasi tasik dan perkampungan, saya tidak putus-putus berdoa untuk saudara seagama dan serumpun bangsa saya hidup dalam aman dan sejahtera. Dan saat ini saya juga mendoakan agar setiap kita mengambil iktibar daripada keadaan dan peritiwa yang dialami oleh saudara-saudara kita dan belajar memaknai kemerdekaan dengan sebenar-benarnya.