Followers

Wednesday, September 10, 2008

BILA PUISI MENYEBERANGI SEMPADAN



Assalamualakum
Salam pagi seindah wajah matahari buat pembaca budiman. Dunia tanpa sempadan. Satu ungkapan yang sangat popular dewasa ini. Malah kata-kata ini sering meniti di bibir-bibir pemimpin dalam ucapan-ucapan dasar pada satu-satu majlis. Ungkapan itu memberi satu gambaran yang sangat luas. Sempadan apa? Sempadan yang bagaimana? Apa yang dimaksudkan dengannya? Teknologi meruntuhkan segala sempadan. Dengannya tidak ada halangan kita ke mana-mana, suara kita, ungkapan-ungkapan kita malah hampir segalanya. Dengannya juga puisi-puisi saya terbang melangkaui sempadan. Antaranya saya mendapat komen dari pembaca di Tanah Seberang untuk tiga puisi saya.

Marah Yang Parah
oleh
Indah Hairani


Melihat tangis.. Karim Qobeisi,
Jangan kata kami tak marah
bila bumi saudara kami berdarah
hati saudara kami berdarah
hati kami berdarah.

Kami tengah marah
marah yang parah
marah yang merah
Nabatiyeh hampir musnah
Gaza yang punah
maruah diterjah.

Jangan kata kami tak marah
marah yang parah
tunggulah padah
" kami tidak akan menyerah"
sumpah!

Komentar

Yah… bebas Ndah… bebaslah bersuara… makin banyak komentar yang mengkritik Ndah… itu akan semakin baik…. saya katakan bebaskanlah, bebaskanlah, suarakan segalanya…. ekspresikan
Turuti kata-kata saya, makin banyak komentar-komentar yang miring untuk karya-karya Ndah, itu semakin buat Ndah cepat terkenal…. Percaya deh… bebaskan dirimu,mulai saat ini


Argh!!!!
oleh
Indah Hairani


Di bumi saudaraku
ada suara merintih
gergasi hitam dari laut
Pengandaran berserakan
Eki antara 160 yang hilang
mungkin terkorban antara 340 yang disahkan
runtuhan masih kelihatan
dan kedengaran Ira mengongsi ngeri kedua dalam
tempoh 19 bulan.

Di bumi saudaraku
ada suara merintih
hujan api dari langit
batu-batu dan daging bergumpalan
darah 227 yang maut dan ratusan cedera
jutaan yang menderita.

Namun di bumiku
gegak tawa pereka pakaian
memilih renda dan lace
segalanya lumayan.


Komentar

Saya hanya ingin berkata, “Inilah seorang seniman, inilah kata-kata dan kesedihan yang khas seorang sasterawan. Ia selalu menginginkan kehidupan yang sempurna, yang baik, yang selaras… tapi hidup tidak seperti itu, hidup penuh dengan cacat cela, ketidak adilan dan kemunapikan”.. seorang seniman akan mewujudkan dunia imajinasinya itu (kehidupan yang sempurna, yang baik, yang selaras) dalam karya-karyanya, ia seolah membangun jarak dengan dunia kehidupan nyatanya sendiri (hidup penuh dengan cacat cela, ketidak adilan dan kemunapikan) dan membangun dunia buat dirinya sendiri yang di penuhi dengan hal-hal yang sempurna, seorang seniman akan berkata, “hidup, seharusnya seperti ini…”.


Percakapan Terpencil Dari Seorang Sahabat...
oleh Indah Hairani


Ingin sekali aku
Untuk turut sama menyambut hari jadi sepasang suami isteri
dan mengurangkan satu kerusi kosong
sambil turut mengunyah bulan yang bicara sendiri
dan memaknai salam jujur seniman
lalu selebihnya turut mencicip gizi di meja makan yang sama

Namun dalam keterlampauan kecilnya aku
selamat malam hanya terucap dalam diam
sambil membiarkan derita perkenalan itu
tersimpan dalam kelongsong ingatan.


Koment:
“Wahai seniman kau begitu percaya diri, meskipun karyamu tidak banyak terbeli, kau begitu sabar menunggu datangnya ide… yang entah kapan datangnya..”
(kutipan dari Karlina Leksono)

Walupun tidak memadai, saya mencoba percaya diri untuk memberikan sedikit komentar yang kurang layak, Insya Allah akan menjadi sebuah kebaikan bagi Indah maupun diri saya sendiri.
Bagimanapun, rintangan bahasa, budaya dan elemen system (birokrasi) bukanlah hal-hal yang dapat begitu saja terabaikan, belum lagi perbedaan pemahaman yang terlahir dari banyaknya ketidaksamaan kita (pengetahuan, perbendaharaan kata, sekaligus persepsi kita tentang hidup).

(“Dulu, aku tidur lebih awal…..”)
my diary, Des 2002

“Ndah, syair Ndah itu sungguh membuat saya menangis, dengan derasnya, tak mampu untuk mencoba berhenti, saya mencoba untuk meyakinkan ulang diri sendiri,”Saya laki-laki, saya laki-laki, dan seorang laki-laki tidak pantas untuk menangis, saya bukan perempuan, tapi laki-laki yang seharusnya kuat dan perkasa”. Ndah, Ini benar-benar pernah saya alami, dan akan saya alami sekali lagi, benar-benar sebuah tragedy kan Ndah?... tidak hanya sebuah syair ataupun cerita fiksi rekaan, namun nyata, demikian nyata saya alami sendiri, hanya seorang diri, pahit Ndah, sangat pahit, getir, tapi tetap harus saya telan sendiri”.

“Syair adalah sebuah kata hati… sebuah palung terdalam dari misteri perasaan-perasaan teragung manusia”, yang tidak mungkin… kata-kata keseharian terlampau miskin, bahkan kata-kata ilmiah terlampau kering untuk menggambarkan dan mengungkapkan, siapa dan bagaimana manusia itu?.. banyak definisi dan rangkain karya ilmiah untuk menggambarkanya, namun sosok manusia itu sendiri tetap berada dalam ruang yang terlindung untuk bisa dipahami oleh definisi-definisi itu sendiri. Berapa banyaknya pun karya ilmu pengetahuan, agama, sains, filsafat untuk menjawab, hakikat siapa dan bagaimana manusia itu, tetap tidak mampu menjawabnya, manusia tetap dalam ruangan hitam yang tak terdefinisikan.
Ruangan inilah yang akan diisi oleh para penyair, oleh para seniman, sasterawan… bahkan mereka-mereka inilah (para penyair, oleh para seniman, sasterawan)yang lebih mampu menjawab, pertanyaan-pertanyaan dasariah tersebut, saya percaya, hati, jiwa dan akal seorang sasterawan/seniman lebih tajam dari pada hanya sekedar seorang ilmuwan atau agamawan.
Hanya dengan kepekaan hati, jiwa dan akal seorang sasterawan/senimanlah yang bisa memprediksikan/meramalkan masa depan manusia…. Ndah boleh percaya atau tidak… dan saya pergi ke wilayah seniman dan sasterawan karena pertanyaan-pertanyaan yang sudah tidak sanggup bagi akal saya untuk menjawabnya.

2 comments:

Anonymous said...

Assalammu 'alaikum.. numpang kenalan dan sedikit menggoreskan 'pena'

Indah Hairani said...

Waalaikumussalam mykhonsa...
terima kasih sudi kunjung dan menggoreskan 'pena' di anjung..selamat datang.Semuga pena anda sentiasa berbekas tinta di anjung saya.